Kamis, 05 Februari 2015

ASAL-MUASAL SEJARAH GRAFFITI



Sekilas Awal Mula Graffiti dan Mural

Anda sering melihat graffiti atau mural yang ada di dinding bawah fly over perempatan Kuningan Jakarta Selatan? Mungkin hanya

sedikit orang yang tahu bahwa pembuatan graffiti dan mural di perempatan Kuningan itu difasilitasi oleh Dinas Pertamanan setempat.

Street art yang dibuat oleh belasan bomber---sebutan bagi pembuat graffiti-itu dibuat pada 20-23 Desember 2006 dengan

mengusung tema Re-Solusi Jakarta 300 cc. Tema tersebut diangkat sebagai respons sekelompok seniman jalanan terhadap

buruknya kondisi sosial dan lingkungan di Jakarta. Kesempatan itu juga dijadikan sebagai kado akhir tahun dari para street artist

kepada Kota Jakarta.



Tulisan dan gambar pada pilar-pilar di perempatan Kuningan ini bukanlah asal bikin. Sebab, sebelum "beraksi", para bomber terlebih

dahulu menjalani diskusi serta brainstorming yang cukup panjang. Lihat saja mural berjudul "Taman Kota" yang menampilkan dua

anak kecil yang saling berangkulan di antara gedung-gedung, seakan-akan mereka tengah kebingungan ke mana mencari taman

untuk sekadar bermain. Atau graffiti bertuliskan "Boneka! Metropolis" yang mudah diinterprestasikan sebagai bentuk kritik terhadap

para penguasa yang gemar mempermainkan orang. Sebab, di atas tulisan yang dibuat dengan cat semprot tadi ada citraan beberapa

sosok orang yang dikondisikan seperti boneka lengkap dengan tali penariknya.





Istilah graffiti sendiri diambil dari bahasa latin "graphium" yang artinya "menulis". Awalnya, istilah ini dipakai oleh para arkeolog untuk

mendefinisikan tulisan-tulisan pada bangunan kuno bangsa Mesir dan Romawi kuno. Kegiatan graffiti sebagai sarana menunjukkan

ketidakpuasan baru dimulai pada zaman Romawi dengan bukti adanya lukisan sindiran terhadap pemerintahan di dinding-dinding

bangunan. Lukisan ini ditemukan di reruntuhan Kota Pompeii. Sementara di Roma sendiri graffiti dipakai sebagai alat propaganda

untuk mendiskreditkan pemeluk agama Kristen yang pada zaman itu dilarang kaisar.



Pemakaian cat semprot atau spray paint untuk graffiti mulai dikenal di New York pada akhir tahun 60-an. Coretan pertama dengan

cat semprot dilakukan pada sebuah kereta subway. Seorang laki-laki bernama Taki yang menetap di 183rd Street Washington

Heights selalu menuliskan namanya-tagging--di setiap tempat yang ia anggap bakal dilihat banyak orang, misalnya di dalam kereta

subway atau di bagian luar dan dalam bis. "Taki183", begitulah tulisan yang ia buat.



Lewat coretan anehnya itu, orang-orang di seluruh kota mengenal Taki. Di tahun 1971, Taki diinterviu oleh sebuah majalah terbitan

New York. Dari situlah nama Taki populer di seluruh New York. Fenomena Taki ini akhirnya mempengaruhi mental anak-anak di New

York. Mereka menganggap kepopuleran bisa diperoleh dengan hanya menuliskan identitas diri pada bus atau kereta yang melewati

seluruh kota. Semakin banyak namanya tercantum, sudah pasti dianggap semakin populer.



Sedangkan kata "mural" berasal dari bahasa Latin "murus" yang berarti dinding. Mural sebenarnya ada sejak ratusan ribu tahun

silam. Orang primitif membuatnya di dinding-dinding gua sebagai sarana mistisme dan spiritual untuk membangkitkan semangat

berburu.


Kegiatan membuat mural kemudian berlanjut ke masyarakat Mesir Kuno. Kala itu, mural menjadi sarana komunikasi. Hingga akhirnya

masyarakat modern membuat mural pada dinding rumah, gedung, gereja, serta tanah beraspal atau berbatu bata, bahkan pada

makam bawah tanah (katakomba).



Sementara di Indonesia baru beberapa tahun belakangan ini graffiti mulai mendapat apresiasi sebagai karya seni. Tercatat, telah

banyak festival bertema "urban art" digelar dengan tujuan mewadahi seniman graffiti agar dapat lebih bebas berapresiasi dan

dihargai. Mereka yang menyukai seni menggambar jalanan ini biasanya berkumpul dalam sebuah wadah atau komunitas tertentu.

Tiga komunitas besar yang cukup terkenal di Indonesia antara lain Tembok Bomber, Royal Consortium, dan Vektorjunkie.





Suasana dan situasi yang dirasakan para bomber di Yogyakarta mungkin bisa dibilang lebih nyaman. Sebab, di sana mural tidak lagi

dianggap sebagai hasil karya yang jelek. Bahkan mural di Yogyakarta tidak lagi dimonopoli para seniman, tapi juga masyarakat

biasa. Mereka membuat mural di pinggir-pinggir jalan lingkup RT maupun jalan masuk gang. Bahkan mural di Yogyakarta hampir

mirip gerakan massal.



Bagaimana dengan Jakarta? Hmm, street art di perempatan perempatan Kuningan--dan mungkin tempat lainnya--bisa dijadikan

sebagai bahan renungan. Sebenarnya lebih enak melihat iklan yang mulai membosankan di kanan kiri jalan atau melihat graffiti/mural

yang sering membuat dahi kita berkernyit saat mencoba menebak pesan yang ingin disampaikan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar